Kamis, 18 Maret 2021
Prodi Hukum Ekonomi Syariah bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan Muamalah menggelar Webinar Prodi HES Series 2021, dengan tema “Fikih Muamalah Kontemporer: Jual Beli Via Jasa Titip” yang menghadirkan narasumber kaprodi Hukum Ekonomi Syariah Maisyarah Rahmi HS, Lc., M.A., Ph.D.
Dr. Iskandar, M.Ag Wakil Dekan I Fakultas Syariah menyambut baik rancangan kegiatan webinar prod HES series ini, dimana kegiatan ini dapat meningkatkan keilmuan, wawasan dan juga pengetahuan terkait dengan isu-isu terkini dan juga aktual tentang praktik Fikih Muamalah Kontemporer. “Zaman modern yang serba digital menghantarkan kita untuk bisa berinteraksi secara online, bukan hanya dalam hal pendidikan, informasi, media sosial, bahkan bisnis online pun sekarang lebih diminati oleh masyarakat, dimana konsumen hanya diam di rumah, dan dapat berbelanja kebutuhan yang diinginkan hanya dengan melihat gadgetnya, begitu pula praktik jual beli jasa titip atau dikenal dengan sebutan jastip, praktik ini pada dasarnya serupa dengan upah atau ujrah dalam Islam, sehingga dalam praktiknya pun jika sesuai dengan hukum Islam, maka hal tersebut sah-sah saja. Terima kasih kepada seluruh panitia dari prodi HES dan HMJ Muamalah, semoga terus semangat mengadakan berbagai kegiatan yang bermanfaat. ” Sambut beliau.
Kegiatan ini dihadiri oleh mahasiswa dan dosen IAIN Samarinda bahkan masyarakat umum yang berminat mengikuti webinar ini.
“Praktik Jual beli Jastip pada umumnya sering dipraktikkan oleh para pelaku usaha yang sedang bepergian ke luar kota atau keluar negeri. Dimana praktik fee/ upah ini adalah bagian dari upah si penjual jasa untuk membelikan barang pesanan pembeli. Caranyapun sangat mudah, penjual jasa cukup memposting gambar produk yang ingin dijual dari toko tertentu dan menetapkan tarif titip pembelian barang tersebut.” jelas Maisyarah.
“Jika dilihat dari praktik jual beli jastip, ada 3 (tiga) kriteria jual beli jastip yang memiliki hukum tertentu jika dilihat dari Fikih Muamalah. Model pertama adalah pembeli menitip barang ke penjual jasa dengan sistem pinjam uang dan bersyarat akan menambah pengembalian hutangnya, contohnya: “Minta tolong belikan tas merek ini ya, pinjam uang mbak dulu, nanti kalau sudah sampai saya kembalikan lebih.” akad seperti ini mirip dengan akad Qardh yaitu berhutang dengan syarat mengembalikan lebih, dan jelas apabila menggunakan akar hutang dengan syarat membayar lebih dilarang di dalam Islam, sehingga praktik yang model pertama ini dikategorikan riba, dan dilarang. Model yang kedua adalah si penjual jasa membeli barang tertentu kemudian mempromosikannya di media sosialnya, dengan mengambil keuntungan tertentu dari penjualan barang tersebut, maka praktik ini dikategorikan akad murabahah dengan kriteria mengambil untung tertentu pada barang yang ingin dijual, praktik ini diperbolehkan, karena mirip dengan praktik akad murabahah, namun harus menjelaskan berapa modalnya dan keuntungannya berapa. sementara model yang ketiga adalah si pembeli mengirimkan uang kepada penjual jasa untuk dibelikan barang titipannya, dengan memberikan upah pembelian barang, praktik ini dikategorikan ujran atau ijarah yaitu sewa menyewa jasa, dan ini diperbolehkan oleh Syara’.” terang Maisyarah.
Webinar yang dimoderatori oleh Annisa Ahla mahasiswi Prodi HES ini dibanjiri pertanyaan terkait praktik jual beli jastip yang terjadi pada umumnya, diantarany pertanyaan tentang “bolehkan mengambil untung untuk barang jastip yang dijual?” “apakah dalam Islam ada ketentuan pengambilan untung pada barang yang dijual?” serta pertanyaan lainnya terkait jual beli jastip ini. Maisyarahpun menanggapi bahwa diperbolehkan mengambil keuntungan dalam praktik jual beli jastip, yaitu keuntungan yang baik, dalam artian tidak berlebih, sehingga memberatkan si pembeli. Begitupun dalam Islam, ketentuan mengambil keuntungan adalah sesuai dengan kebutuhan si penjual, yaitu keuntungan yang “baik” yang tidak mendholimi pembeli dalam jual beli yang dilakukan. beberapa komponen yang harus diperhatikan dalam menetapkan harga barang adalah; modal, onskos kirim barang, biasa kebutuhan toko, pegawai, dan lain-lainnya. Jadi pada intinya satu toko dengan toko yang lain tentu akan memiliki harga yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan keuntungan yang ingin diperoleh dari bisnis yang dilakukan. Yang mana pada intinya adalah berbisnis secara baik, tidak dhalim, barang jelas, kualitas baik, berlaku adil, jujur, dan barang yang dijual bermanfaat. Hal ini sesuai dengan prinsip fikih muamalah. tutupnya.