Moderasi diambil dari kata moderat. Moderat merupakan kata sifat, yang berasal dari kata moderation,yang bermakna tidak berlebih-lebihan, sedang atau pertengahan. kata moderasi disandingkan dengan kata beragama, menjadi moderasi beragama, istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama.[1]

Moderasi beragama seharusnya dipahami bukan hanya secara tekstual, tetapi juga secara kontekstual. Moderasi dalam beragama di Indonesia pun begitu, karena Indonesia memiliki kultur, budaya dan adat istiadat. Islam dan umat Islam saat ini paling tidak menghadapi dua tantangan; Pertama, kecenderungan sebagian kalangan umat Islam untuk bersikap ekstrem dan ketat dalam memahami teks-teks keagamaan dan mencoba memaksakan cara tersebut di tengah masyarakat muslim, bahkan dalam beberapa hal menggunakan kekerasan; Kedua, kecenderungan lain yang juga ekstrem dengan bersikap longgar dalam beragama dan tunduk pada perilaku serta pemikiran negatif yang berasal dari budaya dan peradaban lain.

Keberagaman adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini. Ia adalah sunnatullah yang dapat dilihat di alam ini. Allah menciptakan alam ini di atas sunnah heterogenitas dalam sebuah kerangka kesatuan. Dalam kerangka kesatuan manusia, kita melihat bagaimana Allah menciptakan berbagai suku bangsa. Dalam kerangka kesatuan suatu bangsa, Allah menciptakan beragam etnis, suku, dan kelompok.Dalam kerangka kesatuan sebuah bahasa, Allah menciptakan berbagai dialek. Dalam kerangka kesatuan syari’at, Allah menciptakan berbagai mazhab sebagai hasil ijtihad masing-masing.[2]

Dalam konteks bernegara, prinsip, moderasi ini pula yang pada masa awal kemerdekaan dapat mempersatukan tokoh kemerdekaan yang memiliki ragam isi kepala, kepentingan politik, agama dan kepercayaan.[3] Indikator untuk menentukan apakah sebuah cara pandang, sikap, dan perilaku beragama tergolong moderat atau tidak, bisa dirumuskan sebanyak mungkin. Di antaranya adalah komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Beberapa indikator ini dapat digunakan untuk menggambarkan dinamika moderasi beragama, sehingga potensi bisa digali untuk melakukan penguatan moderasi beragama.[4]

CCN Indonesia.com menghadirkan tanya jawab seputar Islam yang membahas tentang moderasi beragama. Selaku Menteri Agama Indonesia 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin sebagai narasumber untuk menjelaskan mengapa perlu moderasi beragama? Ada empat hal yang menjadi esensi moderasi beragama itu. Pertama, cara pandang atau sikap dan praktik keberagamaan. Kedua, terkait dengan pengamalan esensi agama, yang hakikatnya adalah kemanusiaan dan kemaslahatan bersama. ketiga, semuanya berprinsipkan keadilan dan keseimbangan. Dan keempat, taat pada konstitusi, pada kesepakatan bersama di tengah kehidupan kita yang beragam. Maka, kita perlu memoderasi cara kita beragama karena belakangan ini disinyalir adanya tiga hal yang menjadi fenomena yang berkembang.

Pertama, cara pandang atau sikap dan praktik keberagamaan yang justru mengingkari nilai-nilai kemanusiaan dan kemaslahatan bersama yang mewujudkan kedamaian itu. Cara beragama yang eksklusif misalnya, padahal beragama itu inklusif. Cara beragama yang segregatif, yang memisah-misahkan padahal beragama itu adalah integratif, menyatukan kita. Cara beragama yang konfrontatif misalnya, senang untuk bermusuhan, berlawanan. Lalu, cara beragama yang destruktif, padahal beragama harusnya konstruktif. Ini adalah kecenderungan mengingkari nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian. Yang kedua juga disinyalir semakin dirasakan tafsir-tafsir keagamaan yang justru tidak berdasar, yang tidak menggunakan kaidah dasar dalam menerjemahkan agama. Muncul tafsir-tafsir yang justru bertolak belakang dengan esensi agama itu sendiri. Misalnya jihad, jihad direduksi dengan makna yang hakikatnya kondisional, sangat situasional, lalu digunakan untuk kondisi damai secara umum sesuatu yang bertolak belakang tentu. Ketiga, kecenderungan bahwa ada pemahaman keagamaan yang justru bisa mengoyak dan merusak ikatan kebangsaan. Misalnya politisasi agama, penyeragaman terhadap hal yang beragam dan lain sebagainya. Maka, dari kita sebagai moderasi beragama saling tidak melebih-lebihkan, tidak melampaui batas, tidak ekstrem.


[1] Jurnal ushuludin, Vol.1, No.1, Mei 2020

[2] Intizar, Vol.25, No.2, Deember 2019

[3] Pipit Aidul Ftriyana, Dinamika Moderasi Beragama di Indonesia(Jakarta:Litbangdiklat Press,2020),hal.12.

[4] Pipit Aidul Ftriyana, Dinamika Moderasi Beragama di Indonesia(Jakarta:Litbangdiklat Press,2020),hal.13.

Leave a Comment